Perbesar Penis 100 % Alami Tanpa Obat
Sadarkah anda jika selama ini istri anda hanya berpura-pura puas saat bercinta dengan anda, pengorbanan seorang istri begitu luar biasanya ketika anda hanya sanggup bercinta 1-5 menit, saat itu senyum meluncur dari bibir manis istri anda. Tentu jika anda menyadari bahwa semua itu hanya untuk membuat anda senang, anda akan merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, meski ukuran penis dan lama tidaknya waktu bercinta anda bukan menjadi alasan istri anda mencintai anda, namun sebagai laki-laki tentu anda tidak ingin membuat kecewa istri anda hampur setiap malam. Dan ketika anda berusaha untuk mencari jalan keluar, berbagai obat ditawarkan oleh banyak penjual diluar sana, namun sadarkah anda jika apapun itu obatnya akan mempunyai efek yang kurang bagus bagi tubuh jika terus-terusan dikonsumsi? Nah, jika anda merasa galau dengan kondisi ini dan merasa harus secepatnaya membahagiakan istri anda, cobalah produk dari solusipria.com berikut ini, 100 % alami tanpa obat, anda akan diajarkan bagaimana memperbesar dan memperpanjang "aset" anda hingga beberapa senti dan tentu akan berdampak pada lamanya waktu bercinta anda bersama istri. Tidak akan lagi istilah "ejakulasi dini" di setiap aktivitas bercinta anda bersama pasangan. Klik Banner Untuk Info Lebih Lengkap
10.49
"ORANG yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan." (Confusius)
Apa yang disampaikan Confusius tersebut sebenarnya mengingatkan kita tentang pentingnya menyederhanakan ucapan, mengendalikan lisan, atau tidak banyak mengobral kata dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tidak banyak obral ucapan berarti mengurangi risiko kesalahan, bias, dan kemungkinan informasi yang menyesatkan dan merugikan orang lain atau masyarakat.
Tidak sedikit kita temukan elemen strategis masyarakat yang senang berlama-lama bicara seperti mengobral janji, berpidato yang membius masyarakat dengan banyak menawarkan harapan, atau berbicara berapi-api untuk mendapatkan simpati dan tepuk tangan masyarakat. Mereka ini terus mencoba menjadikan lisannya sebagai senjata atau alat membangun opini, memengaruhi massa, atau menggiring publik.
Masyarakat sekarang mulai jenuh dan tidak menyukai seseorang atau sekumpulan orang yang suka bicara atau obral janji, namun dalam realitasnya miskin bukti. Banyak bicara dianggapnya lebih membuka peluang memperbanyak kebohongan atau menutupi ketidakmampuannya dalam menunjukkan kinerja yang benar.
Nabi Ibrahim AS, yang sering dijadikan simbol saat peringatan Idul Adha, tergolong sosok nabi yang tidak banyak bicara, namun banyak aksi. Apa yang diperbuatnya tidak didahului dengan pembenaran melalui kalimat muluk-muluk, melainkan dengan tindakan, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Itu terbaca dalam kisah aksi perlawanan yang dilakukan Ibrahim terhadap Raja Namrud. Perlawanan yang dilakukan tidak main-main. Pertama, Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan atau objek yang dijadikan ritus Namrud. Kedua, Ibrahim menantang uji kebenaran kebertuhanan dirinya dengan Allah SWT yang mengakibatkan dirinya dibakar hidup-hidup oleh Namrud.
Dalam ranah pertama, gerakan teologis yang dilakukan Ibrahim merupakan gerakan sensitif-eksklusif. Pasalnya, yang diperbuatnya dalam bentuk menghancurkan berhala-berhala ibarat menghancurkan Tuhan yang dijadikan sesembahan Namrud.
Secara historis, saat mengetahui berhala-berhala atau simbol kekuasaan dan kebertuhanan dirinya dibakar, Namrud marah luar biasa. Apalagi, Ibrahim dengan ringan menjawab kalau berhala-berhala ini tidak layak disembahnya, karena saat hendak dihancurkan tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Dalam ranah kedua, gerakan yang dilakukan Ibrahim mengundang risiko yang tidak kalah besar dengan gerakan penghancuran praktik penodaan ketauhidan Namrud. Sebab, dalam gerakan kedua ini, Ibrahim berhuubungan langsung dengan masalah keberadaan (keberlanjutan) kekuasaan Namrud. Namrud yang merasa dari waktu ke waktu, apa yang dilakukan Ibrahim semakin membahayakan, membuatnya cepat-cepat mengambil keputusan dalam bentuk menghukum Ibrahim dengan penuh kemarahan dan dilakukannya secara barbar dan sadistik (QS Ash-Shaffat: 85-99) dan (Al-Ankabut: 16-26) .
***
Kata Husen Munawir (2007), perlawanan yang dilakukan Ibrahim terhadap Namrud merupakan jihad moral yang memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat atau umat beragama di masa-masa mendatang. Sebab, apa yang dilakukan Ibrahim layak ditempatkan sebagai peletak dasar perjuangan politik antara elite agama dan sentral kekuasaan yang berlaku otoriter dan keluar dari jalur kebertuhanan (keberagamaan) yang benar.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan segala risiko yang luar bisa (berani dibakar hidup-hidup), Ibrahim telah mengajarkan kepada masyarakat tentang makna dan risiko perjuangan menegakkan ajaran agama. Ibrahim tidak gentar menghadapi gaya politik otoriterisme, tiranisme, dan despotisme, meskipun nyawa yang menjadi objek pertaruhannya.
Ibrahim memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan sikap dan perilaku dalam menjaga kebenaran yang diyakininya. Meskipun Namrud seorang raja atau presiden, jika pola kepemimpinannya menyesatkan akidah, mengingkari kebenaran, suka menyakiti rakyat, atau mempermainkan (memasung) kebenaran agama, dia tetap melawannya dengan segala risiko.
Pelajaran itulah yang hingga sekarang belum banyak dijadikan pijakan moral-spiritualitas oleh masyarakat. Khususnya komunitas edukatif yang menempati pos kekuasaan mapan di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun sektor strategis, baik yang berelasi dengan masalah sumber pendapatan, prospek politik, hingga keniscayaan adanya ancaman atau bahaya yang menimpa perkembangan karirnya.
Ketika berhubungan dengan kepentingan eksklusif partai, pengamanan atau pengayoman (penyelamatan muka dan kredibilitas) sosok yang menjadi pucuk pimpinan, bagi-bagi kekuasaan, serta kekerabatan (keluarga), yang semua ini mencerminkan digdayanya neo-namrudisme (simbol kekuasaan Namrud gaya baru), komunitas yang idealnya harus menjadi Ibrahim kontemporer atau sang oposan rezim ini, justru kehilangan nyali untuk bersuara atau menggalang gerakan progresif.
Mereka terkerangkeng dalam penasbihan berhala kursi (kekuasaan atau jabatan) dan kemapanan uang. Akibatnya, mereka berani "mengorbankan" kejujuran, kebenaran, harkat kemanusiaan, dan keadilan. Mereka galang kekuatan seperti Namrud untuk mematahkan setiap bibit-bibit pejuang politik atau agama yang bermaksud memberdayakan doktrin adiluhung.
Kalaupun ada yang berani memprotes neo-namrudisme tersebut, tidaklah benar-benar jujur sebagai ekspresi perlawanan kepadanya, namun sekadar ikut-ikutan, atau setengah hati sambil mencari peluang yang secara eksklusif dan kapitalisme politik menguntungkannya. Mereka tidak berani kehilangan kursi empuknya atau penghasilan puluhan juta rupiah per bulan untuk dipertaruhkan atau digaransikan demi memperjuangkan kebenaran agama atau keadilan.
Kendati mereka sudah disumpah untuk setia dan berani mempertaruhkan apa saja demi tegaknya amanat, sumpahnya ini tak lebih dari "banyak kata" (seperti yang dikritik Confusius) yang krisis pembuktian atau penyejarahannya. Mereka tidak berani melawan arus seperti yang dilakukan Ibrahim, tetapi sekadar mengikuti ke mana angin politik bertiup atau bertaklid pada strategi puting beliung menerbangkannya.
Neo-Namuridsme telah dijadikannya sebagai "berhala gaya baru" atau objek pengultusan yang membuat kecerdasan intelektualitasnya temaram dan bahkan padam. Kegairahannya menjadi pejuang yang teguh meninggikan derajat kebenaran dikalahkan oleh tawaran menggiurkan yang dateng menggoda dan menjinakkannya.
*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi, guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Melawan Noe-Namrudisme
Ini nih artikel inspiratif hari ini, saya ambil semuanya dari beliau Prof Dr Bashori Muchsin MSi, guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang saat mengungkapkan opininya di Jawa Pos Hari Kamis, tanggal 26 Nopember 2009, semoga bermanfaat.
Apa yang disampaikan Confusius tersebut sebenarnya mengingatkan kita tentang pentingnya menyederhanakan ucapan, mengendalikan lisan, atau tidak banyak mengobral kata dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tidak banyak obral ucapan berarti mengurangi risiko kesalahan, bias, dan kemungkinan informasi yang menyesatkan dan merugikan orang lain atau masyarakat.
Tidak sedikit kita temukan elemen strategis masyarakat yang senang berlama-lama bicara seperti mengobral janji, berpidato yang membius masyarakat dengan banyak menawarkan harapan, atau berbicara berapi-api untuk mendapatkan simpati dan tepuk tangan masyarakat. Mereka ini terus mencoba menjadikan lisannya sebagai senjata atau alat membangun opini, memengaruhi massa, atau menggiring publik.
Masyarakat sekarang mulai jenuh dan tidak menyukai seseorang atau sekumpulan orang yang suka bicara atau obral janji, namun dalam realitasnya miskin bukti. Banyak bicara dianggapnya lebih membuka peluang memperbanyak kebohongan atau menutupi ketidakmampuannya dalam menunjukkan kinerja yang benar.
Nabi Ibrahim AS, yang sering dijadikan simbol saat peringatan Idul Adha, tergolong sosok nabi yang tidak banyak bicara, namun banyak aksi. Apa yang diperbuatnya tidak didahului dengan pembenaran melalui kalimat muluk-muluk, melainkan dengan tindakan, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Itu terbaca dalam kisah aksi perlawanan yang dilakukan Ibrahim terhadap Raja Namrud. Perlawanan yang dilakukan tidak main-main. Pertama, Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan atau objek yang dijadikan ritus Namrud. Kedua, Ibrahim menantang uji kebenaran kebertuhanan dirinya dengan Allah SWT yang mengakibatkan dirinya dibakar hidup-hidup oleh Namrud.
Dalam ranah pertama, gerakan teologis yang dilakukan Ibrahim merupakan gerakan sensitif-eksklusif. Pasalnya, yang diperbuatnya dalam bentuk menghancurkan berhala-berhala ibarat menghancurkan Tuhan yang dijadikan sesembahan Namrud.
Secara historis, saat mengetahui berhala-berhala atau simbol kekuasaan dan kebertuhanan dirinya dibakar, Namrud marah luar biasa. Apalagi, Ibrahim dengan ringan menjawab kalau berhala-berhala ini tidak layak disembahnya, karena saat hendak dihancurkan tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Dalam ranah kedua, gerakan yang dilakukan Ibrahim mengundang risiko yang tidak kalah besar dengan gerakan penghancuran praktik penodaan ketauhidan Namrud. Sebab, dalam gerakan kedua ini, Ibrahim berhuubungan langsung dengan masalah keberadaan (keberlanjutan) kekuasaan Namrud. Namrud yang merasa dari waktu ke waktu, apa yang dilakukan Ibrahim semakin membahayakan, membuatnya cepat-cepat mengambil keputusan dalam bentuk menghukum Ibrahim dengan penuh kemarahan dan dilakukannya secara barbar dan sadistik (QS Ash-Shaffat: 85-99) dan (Al-Ankabut: 16-26) .
***
Kata Husen Munawir (2007), perlawanan yang dilakukan Ibrahim terhadap Namrud merupakan jihad moral yang memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat atau umat beragama di masa-masa mendatang. Sebab, apa yang dilakukan Ibrahim layak ditempatkan sebagai peletak dasar perjuangan politik antara elite agama dan sentral kekuasaan yang berlaku otoriter dan keluar dari jalur kebertuhanan (keberagamaan) yang benar.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan segala risiko yang luar bisa (berani dibakar hidup-hidup), Ibrahim telah mengajarkan kepada masyarakat tentang makna dan risiko perjuangan menegakkan ajaran agama. Ibrahim tidak gentar menghadapi gaya politik otoriterisme, tiranisme, dan despotisme, meskipun nyawa yang menjadi objek pertaruhannya.
Ibrahim memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan sikap dan perilaku dalam menjaga kebenaran yang diyakininya. Meskipun Namrud seorang raja atau presiden, jika pola kepemimpinannya menyesatkan akidah, mengingkari kebenaran, suka menyakiti rakyat, atau mempermainkan (memasung) kebenaran agama, dia tetap melawannya dengan segala risiko.
Pelajaran itulah yang hingga sekarang belum banyak dijadikan pijakan moral-spiritualitas oleh masyarakat. Khususnya komunitas edukatif yang menempati pos kekuasaan mapan di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun sektor strategis, baik yang berelasi dengan masalah sumber pendapatan, prospek politik, hingga keniscayaan adanya ancaman atau bahaya yang menimpa perkembangan karirnya.
Ketika berhubungan dengan kepentingan eksklusif partai, pengamanan atau pengayoman (penyelamatan muka dan kredibilitas) sosok yang menjadi pucuk pimpinan, bagi-bagi kekuasaan, serta kekerabatan (keluarga), yang semua ini mencerminkan digdayanya neo-namrudisme (simbol kekuasaan Namrud gaya baru), komunitas yang idealnya harus menjadi Ibrahim kontemporer atau sang oposan rezim ini, justru kehilangan nyali untuk bersuara atau menggalang gerakan progresif.
Mereka terkerangkeng dalam penasbihan berhala kursi (kekuasaan atau jabatan) dan kemapanan uang. Akibatnya, mereka berani "mengorbankan" kejujuran, kebenaran, harkat kemanusiaan, dan keadilan. Mereka galang kekuatan seperti Namrud untuk mematahkan setiap bibit-bibit pejuang politik atau agama yang bermaksud memberdayakan doktrin adiluhung.
Kalaupun ada yang berani memprotes neo-namrudisme tersebut, tidaklah benar-benar jujur sebagai ekspresi perlawanan kepadanya, namun sekadar ikut-ikutan, atau setengah hati sambil mencari peluang yang secara eksklusif dan kapitalisme politik menguntungkannya. Mereka tidak berani kehilangan kursi empuknya atau penghasilan puluhan juta rupiah per bulan untuk dipertaruhkan atau digaransikan demi memperjuangkan kebenaran agama atau keadilan.
Kendati mereka sudah disumpah untuk setia dan berani mempertaruhkan apa saja demi tegaknya amanat, sumpahnya ini tak lebih dari "banyak kata" (seperti yang dikritik Confusius) yang krisis pembuktian atau penyejarahannya. Mereka tidak berani melawan arus seperti yang dilakukan Ibrahim, tetapi sekadar mengikuti ke mana angin politik bertiup atau bertaklid pada strategi puting beliung menerbangkannya.
Neo-Namuridsme telah dijadikannya sebagai "berhala gaya baru" atau objek pengultusan yang membuat kecerdasan intelektualitasnya temaram dan bahkan padam. Kegairahannya menjadi pejuang yang teguh meninggikan derajat kebenaran dikalahkan oleh tawaran menggiurkan yang dateng menggoda dan menjinakkannya.
*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi, guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Responses to “Melawan Noe-Namrudisme”
artikel yang bagus, cocok untuk suasana Idul Adha saat ini.
26 November 2009 pukul 22.32Posting Komentar